Jumat, 06 Agustus 2010

Zat Pengatur Tumbuh Cytokinin

Zat Pengatur Tumuh BAP
Oleh
Zaki Thahir Abdul Mudzakir

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi, aktif dalam jumlah kecil (10-6- 10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Wattimena, 1988 dalam Andriana, 2005). Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Keberhasilan kultur jaringan selain ditentukan oleh jenis media yang digunakan, ditentukan juga oleh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan (Yusnita, 2004).

Secara umum, zat pengatur tumbuh yang yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin dan giberelin. Auksin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar, sitokinin untuk pertumbuhan tunas pucuk, dan giberelin untuk diferensiasi atau perbanyakan fungsi sel.

Menurut Janick (1972) dalam Andriana (2005), sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah dipakai untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas adventif. Sitokinin merupakan kelompok hormon tumbuhan yang sangat penting sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan. Seperti halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintetisnya yang tergolong dalam zat pengatur tumbuh. Kinetin adalah merupakan sitokinin yang pertama kali ditemukan oleh mahasiswa Profesor Skoog’s bernama Carlos Miller pada tahun 1954 di laboratorium Universitas Wisconsin, yaitu senyawa sangat aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagai DNA tua sperma ikan hering atau DNA yang diautoklaf yang menyebabkan terus tumbuhnya kalus tembakau.

Sitokinin alami ditemukan lebih dari 30 jenis yang terdapat dalam bentuk sitokinin bebas, sebagai glukosida atau ribosida. Berikut adalah 2 contoh sitokinin alami yang paling banyak digunakan dalam kulturjaringan, yaitu Zeatin (4-hydroksi-3-memethyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP (N6-(2-isopentyl) adenin).

Sitokinin sintetik yang umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah: kinetin (6-furfurylaminopurine), BAP atau BA (6-benzylaminopurine/6-benzyladenin), PBA (SD 8339) (6-benzylamino)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-purine), 2C1-4PU (N-(2-cholo-4-pyridyl)-N’-penylurea), 2,6C1-4PU (N-(2,6-cholo-4-pyridyl)-N’-penylurea), thidiazuron (N-phenyl-N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea).

Pengaruh dari sitokinin untuk memacu pembentukan tunas aksilar dan tunas adventif, memacu pembelahan sel, sitokinin tahan panas, sehingga bisa ditambahkan sebelum diautoklaf. Jenis sitokinin yang sering dipakai untuk perbanyakan pisang adalah BA (6Benzyl Adenine) dan BAP (Benzyl Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa disterilisasi.

Benzilamino, 6 Benzyl Adenin atau BAP (Benzyl Amino Purine) adalah generasi pertama sintetik sitokinin yang memunculkan tanaman dan tanggapan pertumbuhan pembangunan, pengaturan bunga-bunga dan merangsang kekayaan buah dengan merangsang pembelahan sel . Menurut Franklin dan Dixon (1993) dalam Andriana (2005), menyatakan bahwa BAP dalam konsentrasi 1-20 μm dapat menginduksi morfogenesis, dan bila konsentrasi ditingkatkan menjadi 20-50 μm dapat meningkatkan kecepatan multiplikasi tunas.

Penelitian tentang induksi tunas pisang secara in vitro telah dilakukan, baik induksi tunas pada tahap awal maupun induksi tunas pada tahap multiplikasi. Cronauer dan Krikorian (1984) dalam Andriana (2005), telah berhasil melakukan multiplikasi cepat pada pisang Phillipine Lacatan, Grande, Saba, dan Pelipita dengan menggunakan media MS dengan penambahan BAP 5 ppm.

Barnejee dan De Langhe (1985) telah berhasil melakukan mikropropagasi beberapa kultivar pisang, misalnya Cavendish dan silk, dengan cara mengkulturkan tunas ujung batang pada medium MS yang dimodifikasi. Medium yang baik untuk untuk pertumbuhan plantlet adalah dengan menggunakan medium MS ditambah dengan IAA 0,18 ppm dan BA 2,3 ppm.

Priyono (2001) telah berhasil menginduksi tunas awal pisang Cavendish dengan hasil menengah menggunakan medium MS yang dikombinasikan dengan 5-20 ppm BAP dan sukrosa 10–40%. Selain itu hasil menengah dihasilkan pada medium MS yang dikombinasikan dengan 5–20 ppm BAP dan ditambah dengan 5-20 mg/l ancymidol. Sedangkan hasil terbaik pada induksi tunas awal adalah menggunakan media MS yang mengandung 30 % sukrosa dan dikombinasikan dengan 10-15 ppm BAP.

Suyadi, dkk (2003) telah melakukan penelitian tentang penggandaan tunas pisang Abaka dan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak dihasilkan pada medium MS dikombinasi dengan konsentrasi 10-5 M BAP dan 10-7 M NAA.

Avivi dan Ikarwati (2004) telah berhasil melakukan induksi tunas pisang Abaka dengan menggunakan BAP 6 ppm yang memberi pengaruh paling baik terhadap parameter jumlah tunas (9 tunas) dan tinggi tunas (2,62 cm).

Andriana (2005) melaporkan bahwa laju multiplikasi pisang Cavendish tidak berbeda pada perlakuan BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Laju multiplikasi sampai subkultur tujuh masih terlihat rendah, yaitu dari 2-3 tunas pada awal subkultur menjadi 4-5 tunas setelah empat minggu fase subkultur.

Muslim (2009) dan Mudzakir (2009) melaporkan bahwa pemberian BAP 5 ppm pada medium MS mampu menginduksi tunas awal pisang Cavendish.